Sabtu, 13 September 2008

Dunia Tanpa Supermodel


What would the world be without supermodels?

It’s gonna be juuuuust fiiiiiiine…!

Memangnya apa sih peran signifikan para supermodel dalam peradaban ini? Oh ya, tentu, mereka adalah muda-mudi yang paling enak dilihat. Kehadiran mereka adalah jamuan visual bagi siapa pun yang seruangan dengannya. Mereka bahkan bisa membuat produk jelek kelihatan bagus. Bahkan sebagian orang mau membeli pakaian yang tidak akan pernah dikenakannya hanya karena matanya dimanjakan oleh kecantikan dan kegantengan mereka.

But seriously, apakah mereka memiliki peran signifikan di dunia ini?

Kerja mereka hanya melenggak-lenggok di depan kamera, sementara sang fotografer atau kameramen menjalankan tugasnya. Dengan pertolongan angle yang bagus dan make up yang sesuai, siapa pun akan terlihat bagus di depan kamera. Sounds easy. Or maybe not. Tapi saya dibuat terpingkal-pingkal ketika seorang supermodel mengatakan bahwa dirinya merasa bangga dengan karirnya karena ia telah bekerja keras untuk hal itu.

Bekerja keras untuk apa? Membantu produsen menjual dagangannya? Tentu tidak ada salahnya menggunakan iklan sebagai sarana dagang. Yang jadi masalah adalah isi dari iklan itu sendiri yang sama sekali tidak menyentuh esensi dari produk. Akhirnya, yang terjadi adalah pembodohan dan pembodohan. Siapa yang berada di garis depan pembodohan tersebut? Models!

Mari nyalakan TV barang sejenak. Seorang pria ganteng, macho, berperut six pack, menjalankan aktivitas sehari-harinya yang selalu identik dengan kejantanan, kemudian di akhir cerita barulah jelas bahwa yang baru saja kita saksikan adalah iklan rokok.

Mari membuka-buka lembaran majalah barang sebentar. Seorang perempuan seksi mengenakan celana panjang jeans dan kemeja, juga dari jeans keluaran merk tertentu. Dengan sengaja, semua kancing kemejanya dibuka dan ia tidak mengenakan apa-apa di baliknya. Dalam iklan tersebut, ia tengah memeluk seorang model lelaki yang tidak mengenakan baju sama sekali dan memamerkan hasil fitness-nya selama berbulan-bulan dan hanya mengenakan celana panjang jeans. Iklan jeans? Who cares?

Kalau kita menjadi paparazzi dan membuntuti para model tersebut barang beberapa hari saja, kita akan semakin yakin bahwa dunia tidak akan pernah menangis karena kehilangan seorang model. Kebanyakan di antara mereka menjalani hidup yang tidak ada maknanya. Meaningless lives. Mereka bekerja di siang hari, dijamu bagai raja dan ratu oleh para pemilik studio, mendapat banyak uang hanya dengan bergaya di depan kamera, menipu masyarakat dengan membuat mereka lupa akan esensi produk yang sedang diiklankannya, lalu ketika malam tiba, mereka bilang mereka butuh refreshing. Klub-klub malam menjadi pilihan yang amat logis. Musik yang memekakkan telinga, beat-beat yang berulang jutaan kali, tapi siapa yang peduli? Mereka hanya butuh bergoyang. Mereka hanya butuh sedikit alkohol.

Mereka perlu bantuan untuk melupakan fakta bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak pernah memiliki arti signifikan pada dunia. Keberadaan mereka memang membuat hingar-bingar, tapi hal itu sama sekali tidak berarti. Hanya histeria seperti para gadis yang tiba-tiba pingsan setelah memeluk personel boy band pujaannya. Mereka tahu, orang-orang yang memujanya adalah orang-orang yang sama sekali tidak berharga. Mereka menghabiskan hidupnya untuk melayani orang-orang yang tidak pernah memaknai hidupnya. Di akhir cerita, sang supermodel pun tidak lagi mampu memaknai dirinya sendiri. Mereka hanyalah sebuah ikon dari kehidupan jetset yang semakin meriah ketika malam semakin larut. Mereka mampu tertawa riang kapan pun pengarah gaya atau sutradara memberi perintah, tapi lama kelamaan mereka tidak lagi mampu merasakan bahagia. That’s why they invented nightclubs : untuk orang-orang yang sulit merasakan bahagia.

Sementara usia terus bertambah (atau berkurang?), apakah mereka akan terus dipuja? Dunia adalah pengkhianat, dan mereka adalah orang-orang yang menyodorkan punggungnya begitu saja kepada pisau yang sedang menerjang. Mereka membiarkan diri mereka sendiri dianiaya oleh penipuan global. Akan tetapi, seiring bertambahnya pengalaman, mata pun tidak akan selamanya tertutup. Suatu hari, mereka akan dipaksa menyadari keberadaannya yang tidak signifikan.


Tidak ada komentar: